Senin, 12 Desember 2011

MINTO's STONE [The SANGGURAN INSCRIPTION]



[ menelusuri jejak sejarah Kota Batu melalui PRASASTI SANGGURAN,
yang jika ditelusuri di sekitar Desa Ngandat di kawasan SUMBER BELIK]]

Batu Minto (Minto’s Stone) menjadi perbicangan setelah pengusaha Hashim Djojohadikusumo berencana membawanya kembali ke Tanah Air dari Skotlandia. Selama ini, orang hanya mengetahui bahwa batu itu dulunya berasal dari Dusun Ngandat, Kota Batu. Tapi persisnya dimana, tak banyak yang mengetahui.













CHAPTER [2]

KAPAN PRASASTI SANGGURAN
KEMBALI KE KOTA BATU????

Setelah selama hampir 200 tahun menjadi koleksi keluarga Lord Minto di Skotlandia, Prasasti Sangguran yang berasal dari Ngandat (perbatasan Kabupaten Malang dan Kediri) akhirnya akan dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. 

”Prasasti Lord Minto atau Prasasti Sangguran adalah salah satu dari ribuan koleksi benda budaya yang sampai saat ini masih berada di luar negeri,” kata Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Untoro, untuk pengembalian prasasti tersebut pihaknya telah meminta bantuan Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (YKHD) yang memiliki minat besar pada pelestarian benda-benda seni dan sejarah serta memiliki jaringan internasional.

Prasasti Sangguran yang bertahun 928 Masehi, tingginya sekitar 2 meter dan beratnya lebih dari 3 ton. Prasasti itu diberikan Sir Stamford Raffles kepada Lord Minto pada tahun 1814 sebagai upeti. Lord Minto adalah Gubernur Jenderal Inggris di India dan atasan Raffles.

YKHD telah mengupayakan pengembalian prasasti tersebut selama empat tahun dan keluarga Lord Minto bersedia mengembalikannya. Tinggal teknis pengembalian yang sedang dibicarakan. Nantinya prasasti tersebut akan ditempatkan di Museum Nasional di Jakarta. Kembalinya prasasti tersebut akan diharapkan akan menguak sejarah bangsa sekitar 1.100 tahun lalu.



CHAPTER [3]

PRASASTI BATU BERSEJARAH DARI DESA NGANDAT KOTA BATU



Salah satu sumber penting yang menyangkut kesejarahan Kota Batu adalah PRASASTI SANGGURAN, yang ditemukan di Dusun Ngandat (Sekarang masuk Wilayah Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu). Pahatan pada
 balok batu setinggi 160 cm, lebar 122 cm, dan tebal 32,5 cm tersebut, bertulisan yang  diidentifikasi berhuruf Jawa Kuna dan sedikit bagian pembuka berhuruf Sangsekerta. Tulisan 38 baris terdapat
Prasasti Sangguran, di Kediaman Lord Minto
 pada bagian depan batu (recto). Empat puluh lima  baris kalimat terpahat di belakang (verso), dan bagian samping (margin) kiri 15 baris kalimat. Bagian bawahnya berbentuk umpak dengan hiasan teratai ganda (padmasana).
Sebagian akan saya nukil transliterasi perbaikan pembacaan oleh Hasan djafar . Pembacaan tersebut  didasarkan pada hasil pembacaan J. LA Brandes (1913), dan saran dari H. Kern (1915), N.J. Korm (1917), L.C. Damais, serta H.B. Sarkar (1972) sebagai berikut :

Tak banyak yang mengetahui, bahwa prasasti tersebut dulu berdiri di Dusun Ngandat, Kota Batu. Ketika Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816), memegang tampuk kepemimpinan atas jajahan Inggris di Pulau Jawa. Saat itulah, dia terkesima oleh keindahan prasasti yang digambarkan John Newman.

//o//awghnam = astu// siwam astu sarwwajagatah parahitaniratah bhawantu bhuta(gan)ah /
………dosah praghanatsat sarwwatra sukhi bhawatu lokah ( //o// )
Swasti sakawarsatita 850 srawanamasa titi caturdasi suklapaksa…….
……….irika diwasa ni ajna sri maharaja rakai pangkaja dyah wawa sri wijayalokanamotungga, tinadah rakryan mapatih I hino pu sindok sri isanawikrama, umisor is samgat momahumah kalih madander pu padma anggehan pu kundala kumonakan ikanang/
Wanua isangguran watak waharu………………………………………
……………………………watak ijro ityaiwamadi tan tama irikanang wanua sima I sangguran kewala bhatara I sang hyang prasada kabhaktyan ing sima kajuru gusalyan I mananjung, atah pramana I sadrewya hajinya kabaih/

Cuplikan Bagian Verso
………ka ike samaya sapatha sumpah pamangmang ma/……………
Irikeng sapatha sinrahakan sang wahuta hyang kudur, hadyan hulun matuhara.
Prasasti Sangguran 928 Masehi
Rai laki-laki wadwan, wiku grahasta muang patih rama asing umulahhulah ikeng wanua I sangguran, sima inarpanakan punta I mananjung I bhatara, I sang hyang prasada kabhaktyan ing sima kajurugusalyan, idlaha ni dlaha ………………………………………..
Bwat karmaknanya, patyananta taya kamung hyang deyantat patiya, tattanoliha I wuntat, ta (t) tinghala I likuran, ta®ung ingadegan tampya

Lord Minto, Nama Minto Stone lebih dikenal dari Prasasti Sangguran
I i wirangan, tutuh tundunnya wlah kapalanya, sbitakan. Wrangnya rantannususnya wtuakan dalmanya, duduh hatinya pangandagingnya inum rahnya teher pepedakan......................................................................
Wkasan pranantika, yan para ring alas panganan ring mong, patuk ning ula............................................................................................



CHAPTER [4]

SAAT DIJAJAH, PRASASTI DICURI
OLEH GUBERNUR JENDERAL RAFFLES (1811-1816),
diberikan kepada LORD MINTO, di CALCUTA [india]. India saat itu juga dijajah oleh INGGRIS (united kingdom).
Pada 1813, Prasasti Sangguran direngut dari Bhumi Ngandat, kemudian oleh Raffles dihadiahkan kepada Lord Minto di Calcuta. Batu bertuah itu oleh Minto, diletakkan di rumahnya (Minto House), Bukit Minto, Tepi Sungai Teviot, dekat Hawick, Skotlandia.

Prasasti Sangguran atau disebut dengan Prasasti Ngandat, atau juga dikenal sebagai Minto Stone pendiriannya dilakukan dengan upacara sakral. Sejumlah tokoh agama datang memberikan berkah do’a. Tata upacara disebutkan rinci dan runtut.

Adalah dua Samgat (biasa ditulis Pamgat = jabatan keagamaan atau dharma upapatti) , yaitu Samgat  Madander  Pu Padma dan Samgat  Aggehan Pu Kundala, mendapat kehormatan menerima perintah Rakryan Mapatih I hino Pu Sindok, dari Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga., untukmelakasanakan pungutan di Desa Sangguran. Pungutan tersebut sebagai pemasukanPunta di Mananjung, yang bernama Dyang Acarryya………untuk Bhatara yang bersemayam di bangunan suci di daerah perdikan para pandai logam di Mananjung (letak Mananjung hingga saat ini belum ditemukan. Tapi seharusnya, tidak boleh jauh dari Ngandat). Penggunaannya  khusus memenuhi  keperluan pemeliharaan dan berbagai keperluan bangunan suci di Mananjung tersebut.

Setelah penganugrahan Desa Swatantra Sangguran oleh Raja Wawa-- Raja ke XII Mataram Kuna—itu, maka Desa Sangguran tidak boleh ada pungutan lagi. Baik dari para patih, wahuta, dan semua abdi dalem raja, atau dari pihak mana pun juga. Demikian pula yang berkenaan dengan denda segala tindak pidana (sukha duhkha) dan denda bagi hukuman yang tidak adil (danda kudanda). Kesemuanya itu adalah hak Bhatara yang bersemayam dibangunan suci peribadatan, atas perbendaharaan raja tersebut. Pungutannya dibagi tiga. Sebagian untuk Bhatara, sebagian lagi untuk penjaga sima, dan sisanya untuk para petugas. 

Setelah memberikan sejumlah hadiah kepada Maharaja, mapatih dan semua undangan yang hadir, Sang Makudur (pemimpin upacara sima) mempersembahkan air suci, dan mentahbiskan susuk serta kalumpang. Kemudian dia memberi hormat Sang Hyang Teas      ( sebutan tugu batu prasasti, sinonim dengan susuk dan Sang Hyang Watu Sima) yang terletak di bawah witana. Selanjutnya, dengan langkah yang teratur Makudur menuju tugu batu tersebut, dan menutupnya dengan sepasang kain wdihan .

Mulailah Sang Makudur memegang ayam, lalu memotong lehernya berlandaskan kulumpang. Disusul dengan membanting telur ke atas batu sima, sambil mengucapkan sumpah serapah, agar watu sima tetap berdiri kokoh. Demikian ucapan Makudur :
“ Berbahagialah hendaknya Engkau semua hyang Waprakeswara, maharesi Agasti, yang menguasai timur, selatan, barat, utara, tengah, zenith, dan nadir, matahari, bulan, bumi, air, angin, api pemakan korban, angkasa pencipta korban, hukum, siang, malam, senja……………engkau yang berinkarnasi memasuki segala badan. Engkau yang dapat melihat jauh dan dekat pada waktu siang dan malam, dengarkanlah ucapan kutukan dan sumpah serapah kami…………Jika ada orang jahat yang tidak mematuhi dan tidak menjaga kutukan yang telah diucapkan oleh Sang Wahuta Hyang Kudur. Apakah ia bangsawan atau abdi, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, wiku atau rumah tangga, patih, wahuta, rama, siapapun merusak kedudukan Desa sangguran yang telah diberikan sima kepada Punta di Mananjung…………maka ia akan terkena karmanya. ##.

CHAPTER [5 - HABIS]

MENELUSURI ASAL MUASAL PRASASTI BATU MINTO



BATU minto (Minto’s Stone) memang bukan benda purbakala sembarangan. Selain wujudnya yang tidak biasa, berbentuk bongkahan batu setinggi dua meter dan diperkirakan memiliki berat 300 ton, situs ini menjelaskan peralihan dari masa Kerajaan Mataram ke Jawa Timur. Penjelasan tokoh Dusun Ngandat, Desa Mojorejo, Kec Junrejo, Kota Batu, yang menyebut letak prasasti itu dulunya berada di belik tengah yang kini telah berubah menjadi kompleks Wihara Dhammadipa Arama, dikuatkan pihak wihara.  Biksu Khanti Dharo Mahattna, sesepuh wihara Dhammadipa Arama mengatakan, wihara yang juga menjadi tempat tinggalnya itu dibangun sekitar 1970-an yang lalu. 

Awalnya, menurut biksu kharismatik ini, bangunan wihara sangat sederhana, masih semi permanent. Dinding-dindingnya dari gedek alias anyaman bambu. Atapnya dari genteng tanah liat. “Saya memang bukan orang pertama yang  mendirikan wihara ini. Tetapi saya mulai tinggal di Malang  sejak 1961. Sedikit banyak mengerti tentang cerita riyawat berdirinya wihara dan  cerita rakyat Ngandat,” tutur  sosok bersahaja ini. 

Menurut biksu Khanti, pohon beringin yang tumbuh lebat di tengah kompleks wihara Dhammadipa Arama sudah berusia ratusan tahun. Tepat di bawah pohon beringin terdapat sebuah  mata air yang oleh warga desa setempat dulunya disebut belik atau blumbang tengah.  Mata air ini, kata dia, dimanfaatkan untuk mandi dan mengambil air bersih untuk memasak. Tokoh agama panutan ini mengakui bahwa ada cerita yang menyebut di bawah pohon beringin tua itu terdapat sebuah batu besar bertuliskan tangan aksara Jawa kuno. Entah bagaimana ceritanya, sebut biksu Khanti, batu besar tersebut tidak ada di tempatnya sekarang.  ”Beberapa tahun lalu, beberapa orang dari Universitas Brawijaya Malang pernah mendatangi lokasi ini. Mereka ingin melakukan penelitian tentang benda purbakala.

Tetapi, karena saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri benda yang dimaksud, akhirnya rencana penelitian itu dibatalkan,” ujarnya. Soal cerita turun temurun yang menyebut bahwa pohon beringin, belik, dan batu besar bertuliskan aksara Jawa kuno itu berhubungan dengan Kerajaan Mataram, biksu Khanti tidak mengetahui pasti. ”Maaf untuk masalah itu saya tidak bisa menjelaskan. Karena belum ada bukti kuat yang mendukung cerita rakyat Ngandat pernah saya dengarkan itu,” tambahnya. Sebelumnya, Munir, tokoh desa setempat mengatakan bahwa Prasasti Sangguran yang kini dimiliki keluarga besar Lord Minto di Skotlandia itu berada di belik tengah.

Menurut Munir, berdasarkan cerita kakek buyutnya yang diwariskan kepadanya, batu besar itu hilang dari tempatnya karena diambil tentara VOC (Belanda) pada zaman penjajahan. Merunut data otentik bahwa Batu Minto berasal dari Dusun Ngandat yang dibawa Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles sebagai upeti ke atasannya, Lord Minto, sangat mungkin batu di belik tengah itu memang Batu Minto alias Prasasti Sangguran. Tengara bahwa benda purbakala itu dulunya di belik tengah juga semakin kuat bila melihat kenyataan bahwa tempat itu kini menjadi punden, sesuatu yang dikeramatkan. ”Yang perlu Anda ketahui, pada hari-hari tertentu masyarakat berkumpul di tempat itu untuk memanjatkan doa kepada Tuhan,” papar  biksu Khanti. 

Bisa jadi memang benar-benar di situlah Prasasti Sangguran itu berada. Punden, menjadi petunjuk bahwa lokasi belik tengah itu memang tempat yang suci bagi masyarakat dulu. ”Kalau tidak berkaitan dengan zaman kerajaan, tidak mungkin di kawasan pohon beringin itu  masih wingit atau angker,” kata Munir yang ditemui kemarin. Dia menjelaskan, sebelum wihara Dhammadipa Arama dibangun semegah sekarang, banyak  tamu dari luar Kota  Batu yang melakukan meditasi di tempat itu.

Kawasan wihara masih menyimpan rahasia alam yang belum bisa diungkapkan,” beber Munir Belik tengah sendiri ternyata masih mengalir hingga kini. Sumber airnya terus mengeluarkan air yang jernih dan menyegarkan. Saat musim kemarau datang, dan sumber-sumber air lain banyak yang kering, belik tengah tetap memancarkan airnya. Penduduk di sekitar wihara  kerap datang dan meminta air  itu untuk keperluan sehari-hari. “Di wihara ini hanya ada dua sumur. Meski  musim kemarau tidak pernah mati, Tetangga kanan-kiri kita justru sering meminta air  bersih kepada kita,” paparnya. 
(maman adi saputro/foto by: www.gutenberg.net.au)



dikenal dengan ‘Lord Minto’ atau ‘Minto Stone’ untuk    versi Skotlandia (Inggris) merupakan prasasti beraksara dan bahasa Jawa Kuno.



[disarikan dari berbagai sumber]




Tidak ada komentar: